Jumat, 06 Januari 2012
Lanjutan (Ayam Hutan IV)
Ayam hutan merah membuat sarangnya di atas tanah (Gambar 9). Sarang ini berada di dalam semak-semak, tertutup oleh serasah daun dan ranting yang kering, agar terlindung dari sengatan cahaya matahari dan hujan. Betina akan bertelur sebanyak 2-12 butir setiap musim berbiak (tergantung sub-spesiesnya). Telur ini akan dierami selama 21 hari atau lebih hingga menetas.
Gambar 10. Dua anak ayam hutan dan tiga anak ayam kampung umur satu pekan. Perhatikan bulu sayap yang tumbuh sangat cepat pada anak ayam hutan. Bulu sayap ini berwarna putih abu-abu. Sayap anak ayam kampung tumbuh lebih lambat dan tetap berwarna coklat. Sumber: http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html.
Anak ayam yang baru menetas berwarna kuning gelap dengan garis coklat besar di punggung dan kepalanya untuk berkamuflase. Bulu sayap tumbuh cepat berwarna coklat abu-abu keputihan (Gambar 10). Anak ayam umur satu pekan sudah mampu terbang dalam jarak pendek. Dalam beberapa pekan, anak ayam ini dapat terbang dengan cepat untuk menghindari pemangsa.
Menurut Dr. Shaik Mohamed Amin Babjee, seorang peneliti ayam hutan dari Malaysia, anak ayam hutan sangat sensitif terhadap gangguan sehingga mudah mengalami stress. Ketahanan tubuh juga tidak sekuat anak ayam kampung sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Ayam hutan betina akan mengasuh anaknya hingga mampu mandiri dan mencari makan sendiri. Ayam betina mencapai umur dewasa dan siap kawin saat berumur 8-10 bulan. Sedangkan ayam jantan, mencapai usia dewasa sepenuhnya saat berumur sekitar 12 bulan. Dibandingkan jenis ayam lainnya, ayam hutan memiliki laju pertumbuhan yang lambat.
Sub-spesies Ayam hutan Merah
Berdasarkan daerah sebaran dan morfologinya, William Beebe (1877-1962), seorang naturalis asal New York, Amerika Serikat, dalam publikasi risetnya A Monograph of the Pheasants, ditambah dengan beberapa ahli burung lainnya, membagi ayam hutan merah (Gallus gallus) menjadi 5-6 sub-spesies yang berbeda:
-Ayam Hutan Cochin-China (Gallus gallus gallus Linnaues, 1758), tersebar di Vietnam, Laos selatan dan timur, Thailand timur. Ayam ini memiliki bulu leher yang sangat panjang dengan warna merah-jingga hingga keemasan dengan ujung bulu meruncing berwarna jingga. Di tengah bulu terdapat strip tipis berwarna coklat. Cuping telinga umumnya besar dan berwarna putih.
-Ayam Hutan Burma (Gallus gallus spadiceus Bonnaterre, 1792), tersebar mulai dari Yunnan barat daya (RRC), Burma, Laos utara, Thailand, Semenanjung Malaya hingga Sumatera bagian utara. Sub-spesies ini memiliki ciri yang sama dengan sub-spesies sebelumnya dengan pengecualian pada bulu leher dan cuping telinganya yang berukuran sedang sampai besar berwarna putih atau merah.
-Ayam Hutan India (Gallus gallus murghi Robinson dan Kloss, 1920), tersebar mulai dari Pakistan timur ke India tengah dan hingga daerah Assam di timur India. Ciri khas dari subspesies ini adalah adanya strip berwarna hitam yang lebar di tengah bulu leher. Namun, seringkali ayam dengan ciri seperti sub-spesies sebelumnya juga banyak ditemukan di India. Bulu leher ayam hutan India juga sangat panjang, berwarna merah jingga hingga keemasan dengan ujung meruncing berwarna orange (jingga).
-Ayam Hutan Tonkin (Gallus gallus jabouillei, Delacour dan Kinnear, 1928), tersebar di Guangxi, Kwangtung dan Pulau Hainan (RRC) dan Vietnam bagian utara. Sub-spesies ini dikenali dari bulu lehernya yang pendek, berwarna merah jingga gelap dengan ujung meruncing dan ukuran jengger/pial dan cuping telinga yang berwarna merah yang kecil.
-Ayam Hutan Jawa (Gallus gallus bankiva, Temminck, 1813) tersebar di Pulau Sumatera bagian selatan, Jawa dan Bali. Ayam ini termasuk sub-spesies yang paling unik karena bulu lehernya yang pendek, lebar, dengan ujung membulat. Sayap berukuran besar. Bulu lehernya berwarna jingga gelap dengan warna merah yang pendek dibandingkan warna jingganya. Jengger dan cuping telinga berukuran kecil dan berwarna merah. Analisis genetik menunjukkan ayam hutan Jawa merupakan sub-spesies tertua dengan karakter gen yang sangat berbeda dibandingkan dengan sub-spesies lainnya.
-Ayam Peliharaan (Gallus gallus domesticus, Linnaeus, 1758), dari nama ilmiahnya, ayam hutan merah dan ayam peliharaan masih terhitung satu spesies, bukan 2 spesies yang berbeda. Saat ini, terdapat ratusan kultivar atau varian ayam peliharaan yang tersebar di seluruh dunia. Kultivar atau varian tersebut muncul sebagai hasil seleksi dan budidaya manusia selama ribuan tahun, untuk mendapatkan ayam dengan sifat-sifat unggul yang diinginkan. Ratusan varietas ayam peliharaan dari seluruh dunia, dapat dilihat di situs web: http://www.feathersite.com/.
Penelitian filogenetik yang dilakukan terhadap 3 subspesies ayam hutan merah (G. g. gallus, G. g. spadiceus dan G. g. bankiva) yang dibandingkan dengan spesies ayam hutan lainnya, mendapatkan hasil yang menarik. Ayam hutan merah, ternyata memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ayam hutan hijau. Sedangkan ayam hutan abu-abu lebih dekat kekerabatannya dengan ayam hutan Srilangka. Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti LIPI, Sulandari dkk (2006) dalam Dywyanto dan Prijono (2007).
Kesimpulan ini, sesuai dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa secara alami, ayam yang daerah sebarannya lebih dekat, cenderung untuk memiliki hubungan kekerabatan yang lebih erat pula.
Peneliti dari Jepang Fumihito dkk (1994) serta peneliti LIPI Sulandari dkk (2006) dalam Dywyanto dan Prijono (2007), menyatakan bahwa ayam hutan merah adalah nenek moyang dari ayam peliharaan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil riset terhadap susunan DNA mitokondria ayam peliharaan (ayam ras dan ayam kampung) yang lebih mirip dengan DNA mitokondria ayam hutan merah dibandingkan spesies ayam hutan lainnya. Salah satu berita yang memuat penemuan ini dapat dilihat di http://www.antaranews. com/view/?i=1201011680&c=TEK&s=
Hasil riset juga menunjukkan bahwa ayam kampung yang tersebar luas di Indonesia, memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ayam hutan Cochin-China (G. g. gallus) dan Ayam hutan Burma (G. g. spadiceus) dibandingkan dengan ayam hutan Jawa (G. g. bankiva).
Gambar 11. Beberapa varietas ayam lokal nusantara (Gallus gallus domesticus). Sumber: www.kaskus.us
Menurut LIPI, di Indonesia setidaknya terdapat 31 varietas lokal ayam peliharaan. Beberapa varietas lokal yang terkenal, diantaranya adalah: Ayam Kedu/Ayam Cemani (Magelang-Temanggung), Ayam Pelung (Cianjur-Sukabumi), Ayam Sentul (Ciamis), Ayam Banten, Ayam Ciparage (Karawang), Ayam Bali, Ayam Wareng (Jateng-Jatim), Ayam Delona (Klaten), Ayam Balenggek (Sumbar), Ayam Sumatera (populer di Amerika), Ayam Merawang (Bangka), Ayam Gaok (Pulau Puteran-Sumenep), Ayam Nunukan (Tarakan-Kaltim), Ayam Sedayu (Bantul-Jateng), Ayam Tolaki (Kendari), Ayam Tukong (Kalbar), Ayam Kalosi (Enrekang-Sulsel), Ayam Ketawa (Sidrap-Sulsel) dan Ayam Ayunai (Merauke) (Gambar 11).
Analisis DNA dan analisis Filogenetik yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI bekerja sama dengan International Livestock Research Institute di Nairobi, Kenya, menunjukkan, bahwa ayam lokal Indonesia memiliki ciri dan karakter unik yang sangat berbeda dengan ayam dari negara lain. Dengan demikian, Indonesia termasuk salah satu area yang menjadi pusat domestikasi ayam di dunia, selain China dan India.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar